Muslim, Nama Spesial yang Allah Berikan Untuk Kita

Nama Muslim sebenarnya telah Allah persiapkan untuk kita sejak dulu. Nama ini limited edition lhoo, ya limited karena Allah memberikannya hanya untuk kita, umat nabi Muhammad saw. Bahkan ketika Nabi Musa a.s meminta nama itu untuk umatnya, Allah SWT tidak memberikannya..

Dalam Q.S Al-Hajj : 78 disebutkan;

“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. Ikutilah agama nenek moyangmu Ibrahim. DIA (ALLAH) TELAH MENAMAKAN KAMU ORANG-ORANG MUSLIM SEJAK DAHULU, dan begitu pula dalam Al-Qur’an ini agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dialah pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”

Masya Allah, betapa Allah sangat mencintai kita..sampai-sampai nama Muslim tidak Allah berikan untuk umat nabi Musa a.s. Nama itu hanya untuk kita..ya, hanya untuk kita..umat Nabi Muhammad saw :’)

Image

Foto: deviantart.com

Dakwah Kampus Belum Pupus

Setelah masa kemerdekaan, tercatat dua kali mahasiswa Indonesia menorehkan baktinya pada negeri ini, tahun 1966 dan tahun 1974. Dua torehan itu cukup membawa perubahan. Tapi agaknya itu belum cukup, hingga kembali mereka harus menorehkan bakti ketiga kalinya, ya gerakan reformasi 1998. Rezim Soeharto pun tumbang. Tapi kezalimannya yang terstruktur dan menjajah ummat hingga merambah jantung-jantungnya, tak mudah begitu saja dihancurkan.

Tak bisa dipungkiri, bangkitnya pemuda dan mahasiswa Islam tahun 1998 tak lepas dari kuatnya semangat Islam yang tumbuh di kampus dan sekolah-sekolah. Dakwah sudah merebak di tempat-tempat itu. Menggerakan mereka untuk kembali kepada ajaran agamanya. Mengembalikan identitas mereka di tengah arus modernisasi  yang mencabik-cabik. Penemuan identitas inilah yang kemudian menghidupkan ruh keislaman mereka. Lalu ‘memaksa’ mereka bangkit, memenuhi panggilan Islam untuk membangun, demi kejayaan Islam.

Jika mahasiswa diibaratkan singa, maka kampus adalah kandangnya. Dakwah kampus memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi penyadaran ummat yang tidur. Bergeraknya para mahasiswa Islam menentang kezaliman penguasa Orde Baru hingga runtuhnya telah menguras banyak perhatian dan tenaga. Efek sampingnya, kadang mereka terlena dari tugas utamanya. Layaknya seekor singa, ia harus kembali ke kandang setelah menyelesaikan tugas luarnya. Karena tugas utama telah menanti, yaitu melahirkan dari kandang itu singa-singa baru yang lebih tangguh. Tidak saja untuk memberi tenaga baru, tapi juga untuk proses regenerasi.

Reformasi telah memberikan lompatan kedewasaan bagi dakwah kampus, dan itulah harga yang mahal untuk dibeli. Reformasi memang belum selesai. Tapi reformasi tak selamanya turun ke jalan. Memang negeri ini masih perlu banyak perbaikan. Namun tetap saja reformasi perlu tenaga dan fikiran. Dan bukan sekadar kemahiran orasi dan demonstrasi. Mahasiswa harus menyiapkan diri untuk menjadi generasi pengganti. Karenanya KITA HARUS KEMBALI KE KAMPUS untuk membangun dakwah yang belum rampung.

Ada tiga pilar dakwah kampus yang harus dipegang teguh. Ketiga pilar itu bahkan sendi utamanya.

Pertama, pilar dakwah.

Pilar ini harus selalu dijaga dalam kondisi apapun, karena inilah tugas utama seorang muslim. “Nahnu du’at qobla kulli syai” (kami da’i sebelum menjadi segala sesuatu yang lain). Seorang muslim harus senantiasa mengajak orang kepada kebaikan, apapun posisi dan status dirinya, membangunkan kesadaran orang Islam terhadap Islamnya. Dengan dakwah inilah kita kembalikan serta kita bentuk karakter dan sifat pemuda sebagaimana yang diinginkan Islam.

Kerangka umum dari pilar dakwah ini adalah pendidikan dan pelayanan. Kampus utamanya masjid-masjid kampus harus diramaikan dengan kegiatan yang menunjang orang mengenal Islam, lalu berusaha memilikinya. Selain itu, harus ada program-program pelayanan yang dibutuhkan masyarakat kampus. Setiap aktivis dakwah kampus harus memberikan kontribusinya dalam mendidik maupun melayani. Setiap orang dikaruniai kemampuan berbeda. Tapi setiap kita bisa menjadi penyeru yang baik, pada bidang keahlian kita. Dengan orientasi “mendidik dan melayani”, insya Allah semakin banyak orang yang merasakan nikmatnya berislam dan nikmatnya bersaudara dengan sesama muslim.

Kedua, pilar intelektual.

Di masa Rasulullah, tak ada satu ilmu pengetahuan pun yang ada kecuali pasti ada salah seorang sahabat Nabi yang menjadi ahlinya. Begitulah kondisi itu berlangsung lama. Hingga bangsa-bangsa lain tak ada yang berani meremehkan kaum muslimin. Qordova, Andalusia, telah sangat berjasa membesarkan orang-orang Eropa. Tapi kini kaum muslimin seringkali ditipu dan dibodohi. Lantaran tradisi intelektualitas itu banyak ditinggalkan. Kaum muslimin banyak yang tidak memiliki ilmu dan pengetahuan yang memadai. Jangankan menguasai teknologi, jutaan dari mereka masih buta huruf.

Bisa dibilang, pilar intelektual masih belum serius untuk dikerjakan dalam dakwah kampus. Seringkali kita meremehkan masalah intelektualitas ini. Kita harus sadar, bahwa bahasa intelektualitas kampus adalah “nilai, IP, karya ilmiah, track record forum-forum ilmiah, prestasi perkuliahan” dan lain sebagainya. Walaupun tingginya IP tidak selalu menunjukkan tingginya intelektualitas namun itulah bahasa yang dimengerti masyarakat kampus. Karena dengan bahasa itulah kualitas yang abstrak bisa dibaca dengan ukuran kuantitas.

Kadang kita berlindung dibalik aktivitas dakwah untuk menutupi kelemahan akademik kita. Atau kita mengorbankan prestasi akademik untuk mengejar “setoran” dalam dakwah. Padahal kedua pilar tersebut bukan untuk dipertentangkan, apalagi  dikambinghitamkan. Yang perlu kita lakukan adalah menata antara kewajiban satu dan kewajiban yang lain. Barangkali kuncinya adalah harisun alal waqti, mengoptimalkan manajemen waktu sebaik mungkin, serta membuat skala prioritas setepat mungkin.

Allah SWT tidak akan membebani kita di luar kemampuan kita. Membuat kerja dakwah yang terjadwal dan membuat kelompok belajar yang teratur akan sangat membantu para aktivis dakwah menjaga kapasitas intelektualnya. Bila setiap aktivis dakwah memiliki nilai akademik di atas standar barulah kita bisa berbicara tentang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika pada zaman Nabi setiap sahabat memiliki spesialisasi ilmu maka kesempatan saat ini jauh lebih luas dan lebih mudah. Seluruh fasilitas tersedia. Mulai dari perpustakaan sampai internet. Semua tinggal dimanfaatkan.

Kita harus menata spesialisasi diri dengan fokus bidang keilmuan kita masing-masing, agar penguasaan keilmuan kita bisa terukur dengan jelas. Ukurannya bukan saja nilai, tapi juga hasil. Mungkin sebuah tulisan ilmiah, karya ilmiah, hasil penelitian, hasil rancang bangun dan sejenisnya menunjukkan bahwa kita nyata-nyata menguasa ilmu tersebut. Jangan bosan untuk terus mencoba dan terus mencoba, sambil terus mengembangkannya pada tingkat ahli.

Bila ini telah mentradisi, pertanda awal yang baik telah kita genggam. Jika seluruh cabang keilmuan ada mahasiswa Islam yang menjadi ahlinya, yakinlah dalam waktu yang tak lama umat Islam akan punya pemuda-pemuda pembawa solusi bagi banyak permasalahan hidup. Apapun kebutuhan ummat, ada pemuda Islam yang menjadi ahlinya.

Pilar ketiga, Sosial.

Kampus bukan kumpulan orang-orang terasing dari masyarakat. Masyarakat kampus adalah bagian dari masyarakat yang lebih luas dan kompleks. Karenanya dakwah kampus harus memperhatikan permasalahan sosial disekitarnya. Dalam masyarakat kita, orang-orang yang berpendidikan tinggi masih menjadi rujukan. Itu artinya setiap perkataan jebolan kampus sedikit banyak dapat mempengaruhi persepsi dan ritme kehidupan masyarakat. Tak jarang para sarjana itu diangkat menjadi pemimpin masyarakat, baik formal maupun informal.

Potensi ini harus ditangani serius oleh proyek dakwah kampus. Aktivitas dakwah kampus harus menelorkan pribadi-pribadi yang dapat membimbing dan mengarahkan masyarakat, untuk kemajuan moral maupun material. Dalam bahasa yang lain, mahasiswa dituntut tidak hanya sebagai agen perubahan tapi juga “pengarah perubahan.”

Memimpin dan mengarahkan masyarakat tidaklah semudah membalik tangan. Tidak juga seringan membaca teori dalam buku. Maka, latihan memimpin masyarakat yang beragam (plural) sangat dibutuhkan. Bahkan, meski integritas keislaman dan kapasitas intelektual aktivis dakwah kampus telah mapan, latihan itu mutlak diperlukan. Dan, dalam unit-unit maupun institusi lain yang ada di kampus itulah para aktivis bisa melatih diri. Karena kampus merupakan prototype masyarakat pada umumnya, setidaknya dari segi keberagaman itu. Inilah sarana latihan yang sangat representatif, bahkan sesungguhnya. Kenapa? Karena meski latihan, tetap saja ada social cost yang harus dibayar. Maka perhitungannya pun tetap perhitungan sungguhan.

Selain itu, harus diperhatikan juga soal misi advokasi, atau pembelaan dakwah kampus terhadap ummat. Dengan pembelaan itu, para aktivis dakwah akan makin punya kapabilitas dalam memimpin masyarakat. Dan, apabila kemampuan mahasiswa/pemuda Islam telah diakui dan diterima masyarakat baik di kampus maupun di tengah masyarakat pada umumnya insya Allah akan terjadi perubahan besar dalam masyarakat ke arah yang lebih baik.

Zaman telah lama merindukan torehan emas perjuangan ummat. Dengan tiga pilar dakwah kampus di atas, umat menanti lembaran sejarah baru para pemuda dan mahasiswa Islam. Ketiganya telah diletakkan, tinggal merampungkan bangunannya. Setiap kampus memiliki bangunan yang belum diselesaikan. Kini saatnya kita berbenah kembali, melanjutkan kewajiban yang belum terselesaikan.

Pilar dakwah akan melahirkan sensitifitas. Artinya seorang aktivis dakwah kampus akan selalu peka dengan kondisi disekitarnya. Bila ada kemungkaran akan segera diubahnya. Bila ada kebaikan akan selalu didukung dan dikembangkannya. Adapun pilar intelektual akan membesarkan tingkat prestasi. Dan pilar sosial akan memunculkan budaya solidaritas.

Masyarakat telah lama memendam rindu akan lahirnya “pemuda-pemuda Kahfi”, lahirnya sosok Musa yang tegar di hadapan Fir’aun, sosok Ghulam dalam kisah Ashabul Ukhdud, sosok Zaid bin Haritsh, dan masih banyak lagi lainnya. Masyarakat menunggu saat tibanya mahasiswa Islam keluar, yang lantang berteriak: “Kamilah pemuda Islam zaman ini!!”

 

Sumber: Umar Salim-alumni FISIP UI

jangan “kerja” 8 jam, hidup bukan hanya untuk kerja!!!!

pengikatsurga

ketika pemahaman kita tidak bisa membedakan antara diskriminasi dengan klasifikasi
ketika pemahaman kita tidak sanggup mengenal pembagian waktu dan peruntukan
ketika jargon “semua yang diniatkan ibadah adalah ibadah” menelusuk hati

tertegun di muka kisah Dawud ‘alaihi as salaam, saat membagi hari-harinya menjadi tiga
satu hari untuk rakyat, satu hari untuk keluarga, satu hari untuk Allah

apalagi kalau udah terngiang surat al Kahfi ayat 28
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“bersabarlah dengan segenap jiwamu, bersama orang-orang yang berdo’a pada Allah dipagi dan petang hari, yaitu mereka yang menginginkan keridhaan Allah, dan janganlah kamu palingkan kedua matamu dari mereka karena menginginkan perhiasan dunia, dan jangan ta’ati orang-orang yang Kami lalaikan hati mereka dari berdzikir kepada kami dan mengikuti keinginannya, sedang urusan mereka akan lenyap dan mereka menyesal

View original post 269 more words

Tazkiyatun Nafs Bab Ghurur (Kesombongan)

الغرور – اول آثار الغرور السير وراء الأوهام و قضاء لعمر فيها ولأن اكثر الناس مبتلون بذلك فإ نهم كثيرا ما يسيرون وراء السراب ولا يشعرون

orang yang sombong berjalan dibelakang angan-angan, ia menghabiskan usianya untuk itu, dan karena banyak orang yang diuji dengan hal itu maka dari itu banyak dari mereka yang berjalan di belakang fatamorgana dan mereka tidak menyadari itu

hizbuttahrir, spesial untukmu

pengikatsurga

Hmmm, biasanya ga terlalu tertarik memberikan komentar pada hal ihwal dinamika dan “paciweuh” nya antar pergerakan.

Menyadari benar, bahwa perbedaan pendapat adalah ujian,
Allah menguji bagaimana kita bersikap saat perbedaan pendapat terjadi.

Saya juga tahu, bahwa para mahasiswiku yg cinta bahasa arab, yg luar biasa ketekunan belajar, yg bersungguh-sungguh mempelajari bahasa al Qur’an, banyak yang terafiliasi pada hizbut tahrir.
Saya menyayangi dan terkagum-kagum pada semangat dan daya juang yang mahasiswi2 saya miliki itu, keren pokok na mah ….

Dan kali ini perlu kiranya, memberikan suatu catatan, siapa tahu menjadi penerang jalan

Tentang dinamika ukhuwwah antar ummat islam,
Tentu hal ini akan diwarnai banyak faktor, persaingan, perbedaan pendapat dan ghill.

Ghill ini menjadi faktor yg seringkali mengganggu pemahaman utuh atas sepak terjang masing2,

Tentang ghill ini,
Tatkala berbahagia di atas derita sesama,
Dan sedih jika rival mendapat bahagia

Janganlah sampai bersikap demikian,
Qta para penyeru menuju jalan Allah, tiap2 masa memiliki…

View original post 577 more words

Ough..my dear forehead !!

I don’t know why I wanna write this story,,

I always laugh when I remember this moment, so I wanna share my blushing moment to you.. ^^

I may make some changes this story, because I forget exactly, it was about 4 years ago..

I was really happy when I knew that I was accepted in Polytechnic of Bandung (Polban). Of course I was really happy after failed trying to register myself to some favorite colleges 😀

Before accepting in Polban, I gave the down payment to another college.

So, one day, I went to that college to take back my money. Because I decided to choose Polban as my college. After getting the receipt and giving the letter of resignation, I thought happily, “Well, everything is OK now”

I didn’t realize that there was a glass door in front of me when I walked out. Apparently I was too happy to see the glass door in front of me..I walked toward it and “Wham!” I crashed against the door. Everyone in the room could hear the sound and started to grin at me. The office clerk hollered in, “Oh my God! Please be careful! Are you okay?”

“Ya, I’m okay” I answered

I walked out feeling totally freaked out, complete with a swollen and red forehead.

During in public transportation (in Indonesia we call it ‘angkot’), I did a chuckle and remembered the same moment when I was in Junior High School..this is the story..

I run very fast in water spinach garden (red: kebon kangkung)..and in the same time, the bee flew quickly towards to me..and something happened, we crashed each other. I feel dizzy after that. I guess that the bee felt same as me. Because I saw it, the bee overbalanced when it flew..it looked almost falling down. And the bee buzz loudly, it looked like angry to me. So I run away from the bee..hehe

Pasca Kampus..?! Rasanya..

Mamah: ‘Aneh ya, kok Ami mau kerja di tempat itu, padahal gajinya nggak seberapa. Ami kan IPKnya 3,XX,  bahasa Inggrisnya bagus, ikut brevet pajak lagi..Mamah heran!’

Ami: ‘hehehe..belum saatnya mah…rezeki nggak akan kemana-kemana kok…tenang aja :D’

Mom, I’m grown up now…

Cita-citaku lebih besar dari itu..

Kesuksesan diri ini bukan lagi untuk diri sendiri. Bukan sebatas mendapat ma’isyah yang besar dan bekerja di tempat bonafid yang seperti mamah inginkan. Lalu amanah dan tanggung jawab yang ada dilepas begitu saja..

Andai mamah tahu, diri ini begitu berat meninggalkan binaan dan amanah yang masih Ami pegang sekarang.

Diri ini juga merasa berat ketika Ami belum bisa memenuhi keinginan mamah,

Ami sangat menyadarinya kalo Ami sebagai anak paling besar dan menjadi tumpuan, harapan orang tua.. karena teteh sudah pergi, sang Khalik telah mengambilnya kembali.

Rasanya..

Bercampur aduk..

 

Mamah tahu?

Di tempat kerja ini, Ami mendapatkan nikmat yang sangat banyak..

Dimulai dari mempunyai waktu luang untuk ngamen (nga mentor); kerjapun nggak sekedar kerja tapi Ami mendapatkan pembinaan dan penyuluhan, misalnya penyuluhan Qurban, pengurusan jenazah; atau piketpun nggak sekedar piket, piket sambil mendengarkan ta’lim bahkan pulangnya ada pembinaan belajar bulughul maram dan bahasa Arab.

Atau yang satu ini, setiap shalat Dzuhur berjamaah, selesai shalat saya suka mendengarkan murajaah dari anak-anak SD..hehe lumayan.

Di kantor pun saya merasa ditausiyahi setiap hari oleh teman-teman kantor saya ketika melihat wajah-wajahnya.. ahhh.. teman-teman kantor yang shaleh..

Atau bahkan saya diizinkan oleh atasan saya untuk kuliah lagi bulan Februari nanti.

And the last..but not the least..

Nikmat yang paling besar, yang saya rasakan sekarang ini. Membuat saya deg-degan luar biasa..dahsyat..

Entah kenapa datang tiba-tiba..tidak terduga..di tengah-tengah banyak amanah yang harus saya kerjakan..

Fabi ayyi aalā i’rabbikumaa tukadzdzibaan..

Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Kultwit Arya Sandhiyudha A S @AryaSandhiyudha

1. Semalam, sy tidak nonton Todays Dialogue ust @anismatta. Sebab nemani Revo nonton kartun “Rio” di saluran lain 🙂

2. Mungkin, ada yang mau murah hati ulang kutipan2 uraian ust@anismatta semalam? Tapi sy sendiri mau tanggapi tema tsb

3. Menurut Sy ragam ulasan bertema “parpol Islam” tak lain pengulangan2 sederhana yang berdiri di atas persepsi “Islam” di akar rumput

4. Utamanya sekali “Islam” yang ter’parsial’kan dalam benak masyarakat. Sebabnya bisa personal, kultural, atau struktural

5. Ambil contoh siswa baru di SMA. Ada tuips yang SMA? Mereka daftar Rohis (Rohani Islam) alasannya apa? Itulah persepsi siswa tentang Islam

6. Ternyata setelah masuk Rohis, persepsi sebelum memasukinya banyak berbeda dengan apa yang diajarkannya. Sebabnya?

7. Sebabnya pengurus Rohis mengajarkan Islam itu “Syamil, Kamil, Mutakamil” komprehensif, sempurna, dan saling menyempurna… Tapi?

8. Yang dilihat oleh siswa baru di SMA, Ketua Rohis mereka “hanya” bertugas memimpin do’a saat upacara bendera.. Jadi?

9. Jadi dalam persepsi publik SMA “Islam” itu terdistorsi peran2 pengurus Rohis. Oh, kalau mau jadi “pemimpin umum”, jangan masuk Rohis!

10. Dulu, saya awalnya bangga kalo Ketua Rohis itu diundang acara banyak ekskul. Tapi ternyata untuk peran yang sama: baca do’a penutup

11. Lalu Rohis menyederhanakan masalah persepsi itu dengan cara mengirimkan anggota2nya aktif di OSIS. Ternyata?

12. Anggota/Ketua OSIS yang berasal dari Rohis biasany ‘berubah’ identitas. Sebagianny malah ‘malu2’ ketahuan Rohis 😉

13. Fenomena serupa semacam ini kmudian terjadi di level kampus. LDK ‘dilokalisasi’ mengambil peran2 terbatas & parsial

14. wajah “Islam” di kampus itu sangat dipengaruhi bagaimana Lembaga Da’wah Kampus (LDK) mengejawantah program2nya..

15. Kemudian anggota2 LDK juga kemudian “malu2” mengakui identitas/perilaku ke”Islam”an-nya ketika sudah masuk ke UKM atau BEM

16. Sehingga, niatan awal mengirim pada aktivis masjid (LDK) ke lembaga umum untuk menperbaiki persepsi “Islam” di kampus Gagal

17. Sebabnya, orang2 masjid yang secara personal berhasil masuk ke lembaga2 umum.. Tidak lagi mau mengenakan identitas ‘khusus’nya..

18. Lahirlah persepsi tak sadar: kalau mau jadi “pemimpin” “diterima umum” tanggalkanlah sisi2 yang berbau “islam” / Rohis/ LDK

19. Sayangnya, jika persepsi ini bukan dilihat Rohis/ LDK sebagai ‘Tantangan’ tapi sbuah situasi “alami”. Harus diikuti

20. Akibatnya, Rohis / LDK menganggap tabu untuk membuat program di luar batas wilayah “Mushollah” dan “Masjid”-nya

21. Jk PERSONAL identitas aktivis Islam yang berperan di lembaga publik dipadu elegan. Harusnya persepsi positif LEMBAGA Islam juga trbangun

22. Sebaliknya, jk performance LEMBAGA Islam juga OK: modern, komprehensif & inklusif Maka PERSONAL yang di lembaga publik Juga terbantu.

23. Relasi antara Personal-Kultural-Struktural ini harus terus “dicurigai” efektivitasnya dalam menyempurnakan persepsi Islam di Publik

24. Kini, masihkah ada persepsi bahwa aktivis “Islam” yang di lembaga A harus lebih ‘bla bla bla’ dari yang di lembaga B ?

25. Masih ada persepsi: “Aktivis “Islam” yang lebih populer, jago strategi, luas jaringan’ sayang kalo cuma di LDK?”

26. Padahal jk LDK punya “stock orang2 hebat dan program2 multi-talenta dan multi-kultural” efeknya langsung positif pd persepsi “Islam”

27. Tentu saja ini juga akan berpengaruh pada daya tarik siswa/ mahasiswa masuk ke Rohis / LDK dan persepsi “Islam” sebagai Solusi

28. Sebenarnya saya mau bilang Parpol Islam itu ada dalam analogi & logika yang serupa dengan kisah Rohis / LDK td

29. Dulu, Pengurus Keluarga Mahasiswa Budhis (KMB) UI sampai terharu waktu saya undang untuk “ceramah” di @salamui

30. Mereka KMB, merasa @salamui sebagai lembaga kemahasiswaan yang menghargai mereka. Kami mengundangnya pas buka-puasa

31. Dalam logika negara itu kan bisa dimaknai sebagai peran Khalifah/ pemimpin negara pada kaum minoritas..

32. Peran terbatas LDK sbenarnya disebabkan dirinya sendiri mempersepsi diri sebagai Ormas Islam atau MUI, bukan Khilafah / pemimpin negeri

33. Parpol Islam juga akan demikian trbatas, ketika hanya berimaji dirinya Ormas bagi entitas Islam, bukan sebagai pemimpin rakyat Indonesia

34. Saya jadi ingat, dulu, @salamui 05/06 justru mengundang BEM UI tuk ditraining Pelatihan Humas, Agitasi, Propaganda, dan Mobilisasi Massa

35. Itulah kenapa Parpol Islam yang akan eksis yang memerankan dirinya sebagai “lembaga-publik” di tiap teritorinya, bukan lembaga entitas

36. Ini mungkin menyederhanakan. Tapi memang persepsi Islam itu menempelnya pada ekskul/lembaga/parpol berlabel Islam..

37. Ulama juga sepakat: Al Islamu Mahjubu bil Muslimin. Cerahnya nilai Islam akan terhalangi Muslim yang dekil & kumel performance-nya

38. Dulu waktu saya Ketua Rohis SMA, sebagian kawan SMP rekan tawuran dari basis bus P-17 & 502 ikut gabung ke Rohis SMA. Alhamdulillah 🙂

39. Relasi personal sangat efektif. Amat disayangkn jk mereka yang dapat hidayah, malu2 mengajak kawan2 ‘masa lalu’nya

40. Jika parpol Islam mau ‘melonjak’ menurut saya: jika mampu merekrut sebanyak mungkin ‘bajingan’ mnjadi aktivis Islam militan ragam segmen

41. ?

42. Pada akhirnya ‘mengakar-rumput’ dan ‘grounded’ itu utama. Kesesuaian2 lokal jadi kunci penerimaan thd nilai apapun

43. Ketika ayat di surat AsySyu’ara ‘wa andzir asyirotakal aqrobiin’ itulah tanda dimulainya era da’wah kekerabatan..

44. Basis-nya pendekatan lokal. Rasul saw. Coba menerka nilai yang berkembang saat itu. Itu sebab Rasul ke bukit Shafa

45. Bukit Shafa tempat ‘tongkrongan’ favorit kaum Quraisy. Rasul saw. menyapa-nya juga dengan bahasa ‘popular’ mereka..

46. Itulah sebab, di masyarakat Indonesia “mu’alaf” sangat menarik sebagai pembicara. Padahal mayoritas kita muslim..

47. Sebab, mayoritas muslim kita ber-Islam tidak dengan ‘sadar’. Sehingga perlu di’Islam’kan lagi lewat kisah Mu’alaf

48. Anak2 Menteng Futsal Community misalnya, paling semangat kalau bincang Bustomi yang ‘terlihat berbakti pada ibu’nya

49. Atau kemarin pas kumpul, dari sodara2 yang SMP-SMA sampai Om-Pakde tiba2 bincang Islam awalnya dari obrolan seputar pemain bola muslim

50. Bisa dimengerti kenapa para Sunan, Wali Songo mengambil pola da’wah akulturasi nilai lokal.. dan itu sukses..

51. Akar budaya masyarakat kita di Indonesia dominan senang hal2 yang harmonis. Kesamaan2 memudahkan penerimaan nilai

Kapan ya tamia diantarkan ke tempat dimana namaku diambil?? #Jepang…seperti beliau…ARDILES ^^

MasyaAllah..liat video ini ketika event IMSS (International Muslim Students Summit) di ITB jadi tambah semangat untuk mencapai mimpi-mimpiku untuk pergi ke luar negeri…semoga Allah ridho and He shows me the way to go there..aamiin..