1. Semalam, sy tidak nonton Todays Dialogue ust @anismatta. Sebab nemani Revo nonton kartun “Rio” di saluran lain 🙂
2. Mungkin, ada yang mau murah hati ulang kutipan2 uraian ust@anismatta semalam? Tapi sy sendiri mau tanggapi tema tsb
3. Menurut Sy ragam ulasan bertema “parpol Islam” tak lain pengulangan2 sederhana yang berdiri di atas persepsi “Islam” di akar rumput
4. Utamanya sekali “Islam” yang ter’parsial’kan dalam benak masyarakat. Sebabnya bisa personal, kultural, atau struktural
5. Ambil contoh siswa baru di SMA. Ada tuips yang SMA? Mereka daftar Rohis (Rohani Islam) alasannya apa? Itulah persepsi siswa tentang Islam
6. Ternyata setelah masuk Rohis, persepsi sebelum memasukinya banyak berbeda dengan apa yang diajarkannya. Sebabnya?
7. Sebabnya pengurus Rohis mengajarkan Islam itu “Syamil, Kamil, Mutakamil” komprehensif, sempurna, dan saling menyempurna… Tapi?
8. Yang dilihat oleh siswa baru di SMA, Ketua Rohis mereka “hanya” bertugas memimpin do’a saat upacara bendera.. Jadi?
9. Jadi dalam persepsi publik SMA “Islam” itu terdistorsi peran2 pengurus Rohis. Oh, kalau mau jadi “pemimpin umum”, jangan masuk Rohis!
10. Dulu, saya awalnya bangga kalo Ketua Rohis itu diundang acara banyak ekskul. Tapi ternyata untuk peran yang sama: baca do’a penutup
11. Lalu Rohis menyederhanakan masalah persepsi itu dengan cara mengirimkan anggota2nya aktif di OSIS. Ternyata?
12. Anggota/Ketua OSIS yang berasal dari Rohis biasany ‘berubah’ identitas. Sebagianny malah ‘malu2’ ketahuan Rohis 😉
13. Fenomena serupa semacam ini kmudian terjadi di level kampus. LDK ‘dilokalisasi’ mengambil peran2 terbatas & parsial
14. wajah “Islam” di kampus itu sangat dipengaruhi bagaimana Lembaga Da’wah Kampus (LDK) mengejawantah program2nya..
15. Kemudian anggota2 LDK juga kemudian “malu2” mengakui identitas/perilaku ke”Islam”an-nya ketika sudah masuk ke UKM atau BEM
16. Sehingga, niatan awal mengirim pada aktivis masjid (LDK) ke lembaga umum untuk menperbaiki persepsi “Islam” di kampus Gagal
17. Sebabnya, orang2 masjid yang secara personal berhasil masuk ke lembaga2 umum.. Tidak lagi mau mengenakan identitas ‘khusus’nya..
18. Lahirlah persepsi tak sadar: kalau mau jadi “pemimpin” “diterima umum” tanggalkanlah sisi2 yang berbau “islam” / Rohis/ LDK
19. Sayangnya, jika persepsi ini bukan dilihat Rohis/ LDK sebagai ‘Tantangan’ tapi sbuah situasi “alami”. Harus diikuti
20. Akibatnya, Rohis / LDK menganggap tabu untuk membuat program di luar batas wilayah “Mushollah” dan “Masjid”-nya
21. Jk PERSONAL identitas aktivis Islam yang berperan di lembaga publik dipadu elegan. Harusnya persepsi positif LEMBAGA Islam juga trbangun
22. Sebaliknya, jk performance LEMBAGA Islam juga OK: modern, komprehensif & inklusif Maka PERSONAL yang di lembaga publik Juga terbantu.
23. Relasi antara Personal-Kultural-Struktural ini harus terus “dicurigai” efektivitasnya dalam menyempurnakan persepsi Islam di Publik
24. Kini, masihkah ada persepsi bahwa aktivis “Islam” yang di lembaga A harus lebih ‘bla bla bla’ dari yang di lembaga B ?
25. Masih ada persepsi: “Aktivis “Islam” yang lebih populer, jago strategi, luas jaringan’ sayang kalo cuma di LDK?”
26. Padahal jk LDK punya “stock orang2 hebat dan program2 multi-talenta dan multi-kultural” efeknya langsung positif pd persepsi “Islam”
27. Tentu saja ini juga akan berpengaruh pada daya tarik siswa/ mahasiswa masuk ke Rohis / LDK dan persepsi “Islam” sebagai Solusi
28. Sebenarnya saya mau bilang Parpol Islam itu ada dalam analogi & logika yang serupa dengan kisah Rohis / LDK td
29. Dulu, Pengurus Keluarga Mahasiswa Budhis (KMB) UI sampai terharu waktu saya undang untuk “ceramah” di @salamui
30. Mereka KMB, merasa @salamui sebagai lembaga kemahasiswaan yang menghargai mereka. Kami mengundangnya pas buka-puasa
31. Dalam logika negara itu kan bisa dimaknai sebagai peran Khalifah/ pemimpin negara pada kaum minoritas..
32. Peran terbatas LDK sbenarnya disebabkan dirinya sendiri mempersepsi diri sebagai Ormas Islam atau MUI, bukan Khilafah / pemimpin negeri
33. Parpol Islam juga akan demikian trbatas, ketika hanya berimaji dirinya Ormas bagi entitas Islam, bukan sebagai pemimpin rakyat Indonesia
34. Saya jadi ingat, dulu, @salamui 05/06 justru mengundang BEM UI tuk ditraining Pelatihan Humas, Agitasi, Propaganda, dan Mobilisasi Massa
35. Itulah kenapa Parpol Islam yang akan eksis yang memerankan dirinya sebagai “lembaga-publik” di tiap teritorinya, bukan lembaga entitas
36. Ini mungkin menyederhanakan. Tapi memang persepsi Islam itu menempelnya pada ekskul/lembaga/parpol berlabel Islam..
37. Ulama juga sepakat: Al Islamu Mahjubu bil Muslimin. Cerahnya nilai Islam akan terhalangi Muslim yang dekil & kumel performance-nya
38. Dulu waktu saya Ketua Rohis SMA, sebagian kawan SMP rekan tawuran dari basis bus P-17 & 502 ikut gabung ke Rohis SMA. Alhamdulillah 🙂
39. Relasi personal sangat efektif. Amat disayangkn jk mereka yang dapat hidayah, malu2 mengajak kawan2 ‘masa lalu’nya
40. Jika parpol Islam mau ‘melonjak’ menurut saya: jika mampu merekrut sebanyak mungkin ‘bajingan’ mnjadi aktivis Islam militan ragam segmen
41. ?
42. Pada akhirnya ‘mengakar-rumput’ dan ‘grounded’ itu utama. Kesesuaian2 lokal jadi kunci penerimaan thd nilai apapun
43. Ketika ayat di surat AsySyu’ara ‘wa andzir asyirotakal aqrobiin’ itulah tanda dimulainya era da’wah kekerabatan..
44. Basis-nya pendekatan lokal. Rasul saw. Coba menerka nilai yang berkembang saat itu. Itu sebab Rasul ke bukit Shafa
45. Bukit Shafa tempat ‘tongkrongan’ favorit kaum Quraisy. Rasul saw. menyapa-nya juga dengan bahasa ‘popular’ mereka..
46. Itulah sebab, di masyarakat Indonesia “mu’alaf” sangat menarik sebagai pembicara. Padahal mayoritas kita muslim..
47. Sebab, mayoritas muslim kita ber-Islam tidak dengan ‘sadar’. Sehingga perlu di’Islam’kan lagi lewat kisah Mu’alaf
48. Anak2 Menteng Futsal Community misalnya, paling semangat kalau bincang Bustomi yang ‘terlihat berbakti pada ibu’nya
49. Atau kemarin pas kumpul, dari sodara2 yang SMP-SMA sampai Om-Pakde tiba2 bincang Islam awalnya dari obrolan seputar pemain bola muslim
50. Bisa dimengerti kenapa para Sunan, Wali Songo mengambil pola da’wah akulturasi nilai lokal.. dan itu sukses..
51. Akar budaya masyarakat kita di Indonesia dominan senang hal2 yang harmonis. Kesamaan2 memudahkan penerimaan nilai